A. Sistem Representasional: Pandangan
Neo-Piagetian
Pada
masa kanak-kanak pertengahan (sekitar 7-8 tahun) penilaian tentang diri menjadi
lebih realistis, berimbang, komprehensif dan lebih terekspresi secara sadar
(Harter,1996,1998). Pada saat ini anak masuk dalam tahap perkembangan kognitif
ketiga yaitu sistem representasional.
Sistem representasional yaitu tahap ketiga definisi diri yang ditandai
dengan penilaian yang luas, berimbang, dan terintegrasi terhadapa berbagai
aspek diri.
Dalam
sebuah contoh diberitahukan bahwa seorang anak mengidentifiksi dirinya bahwa ia
pintar dalam pelajaran kesenian, sementara “bodoh” dalam pelajaran algoritma.
Deskripsi anak tersebut menunjukkan bahwa dia dapat fokus pada satu dimensi
dari dirinya sendiri.
B. Harga Diri
Merujuk
pada Ericson(1982), faktor penentu harga diri adalah pandangan anak akan
kemampuan kerja poduktif. Anak belajar keterampilan yang dihargai oleh
masyarakat merekan. Anak-anak membandingkan kemampuan mereka dengan teman
sebayanya.
Pandangan
berbeda tentang harga diri bersumber dari riset Susan Harter. Harter (1955a)
meminta anak usia 8-12 tahun menilai penampilan, perilaku, prestasi dan
penerimaan mereka oleh orang lain.
Kontribusi
utama harga diri yaitu dukungan sosial--pertama-tama dari orang tua dan teman
sekelas, kemudian dari teman dan guru. Sebagai contoh, Judey menganggap
olahraga adalah sesuatu yang penting meskipun dia bukan atletik, dia akan
kehilangna harga diri, tidak peduli berapa banyak pujian yang ia terima.
Anak
yang menarik diri dari sosial, memiliki kecenderungan lebih besar pada
perhatian mereka dalam situasi sosial. Anak dengan harga diri yang lebih tinggi
cenderung menisbahkan kegagalan pada faktor di luar diri mereka.
C. Pertumbuhan Emosional
Ketika
usia bertambah,mereka lebih peka terhadap perasaan sendiri dan orang lain. Pada
usia 7-8 tahun rasa bangga dan rasa malu tegantung pada kesadaran mereka akan
implikasi tindakan . Kontrol terhadap emosi
negatif merupakan salah satu aspek pertumbuhan emotional. . Ketika si
anak mendekati masa remaja awal, intoleransi orang tua terhadap emosi negatif
dapat mempertinggi konfliks orang tua dan anak. (Eisenberg, Fabes et al., 1999)
2.2 Anak
dalam Keluarga
A.
Efek
Orangtua yang bekerja.
Pada saat ini, 3 – 4 ibu anak usia sekolah A.S dan
pada wanita kanada berusia 25 -34 tahun bekerja. Dengan lebih dari setengah ibu
baru yang bekerja setahun setelah melahirakan, banyak anak yang tidak
mengetahui kapan waktunya orangtua mereka tidak bekerja untuk mendapatkan
bayaran.
Sebagian besar studi terhadap
pengaruh orangtua yang bekerja terhadap kesejahteraan anak difokuskan kepada
ibu yang bekerja. Pengaruh seorang ibu bekerja tergantung kepada banyak faktor,
termasuk usia, jenis kelamin, tempramen, dan kepribadian anak. Faktor lainnya
adalah apakah hanya ada satu orang tua dalam rumah tangga tersebut. Orang tua
tunggal seperti ibunda Marian Anderson sering kali harus bekerja. Bagaimana
pekerjaannya memengaruhi sang anak mungkin tergantung kepada seberapa banyak
waktu dan energy yang dia sisakan untuk mereka dan model peran apa yang dia
hadirkan untuk meraka yang dalam kasus annie Anderson jelas merupakan hal yang
positif.
Semakin puas seorang ibu dengan
status pekerjaannya, semakin efektif ia sebagai orang tua. Anak usia sekolah dari ibu yang
bekerja cenderung hidup dalam rumah yang lebih terstruktur dibandingkan anak
dengan ibu yang bekerja sebagai ibu rumah tangga, dengan peran yang jelas
memberikan tanggung jawab rumah tangga yang lebih besar. Mereka juga didorong
untuk menjadi lebih indpenden, dan mereka memiliki sikap yang elagitarian
terhadap peran gender.
Bagaimana peran orang tua dapat
memengaruhi prestasi sekolah? Baik anak laki-laki maupun perempuan dari
keluarga kelas bawah tampaknya bisa mendapatkan keunggulan akademis yang lebih
banyak dari lingkungan yang lebih baik yang disediakan oleh ibu
bekerja.walaupun demikian , anak laki-laki dari seorang ibu yang bekerja dalam
keluarga kelas menengah cenderung berprestasi lebih rendah di sekolah dibandingkan
dengan yang memiliki ibu sebagai ibu rumah tangga. Perbedaan gender dalam
keluarga kelas menngah ini mungkin berkaitan dengan kebutuhan lebih besar anak laki-laki terhadap sepervisi
dan bimbingan.
Sebagian anak dari ibu yang bekerja
diawasi oleh ayah mereka, kakek keluarga lain atau pengasuh anak setelah
sekolah. Sebagian yang lain pergi ke program yang lebih terstruktur, baik di
sekolah maupun dalam setting penitipan anak. Sebagaimana penitipan anak opra
sekolah, program penddikan anak pasca sekolah yang baik memiliki perserta yag
relative renda, rasio anak staf pengajar yang rendah, dan staf pengajar yang
terdidik dengan baik. Anak-anak, terutama anak laki-laki, dalam program lepas
sekolah yang terorganisir yang ditandai dengan pemorograman fleksibel daniklim
emosional positi, cenderung menyesuaikan diri dengan lebih baik pada tingkat
pertama.
8% dari anak usia 8-10 tahun dan 23%
anak usia 11 dan 12 tahun dalam sampel nasional dari 1.500 anak, biasanya
merawat diri merka sendiri di rmah tanpa pengawasan orang dewasa. Akan tetapi,
tiap anak hanya menghabiskan satu jam ssehari sendirian. Pengaturan ini hanya
disarankan unutuk anak lebih tua yang dewasa, bertanggung jawab, cerdik dan
mengetahui cara meminta pertolongan dalam kondisi darurat, dan apabila orangtua
tetap berhubungan melalui telepon.
B. Kemiskinan dan Pengasuhan
Kemiskinan dapat membahayakan perkembangan anak
melalui pengaruhnya terhadap kodisi emosional orang tua dan praktik pengasuhan
anak dan pada lingkungan rumah yang mereka ciptakan. Analisis ekologis Vonnie
McLoyd terhadap efek dari kemiskinan menurut jalur yang mengarah kepada
kesulitan psikologis orang dewasa, yang akan memengaruhi praktik membesarkan
anak, dan akhirnya pada masalah emosional, prilaku dan edukasional anak.
Orangtua yang hidup dalam rumah kumuh, yang kehilangan pekerjaan, yang susah
cari makan, dan yang merasa tidak dapat mengontrol kehidupan mereka cenderung
menjadi menjadi cemas, tertekan, dan lekas marah. Mereka menjadi kurang
mengasihi dan kurang responsive terhadap anak mereka. Mereka mungkin
mendisiplinkan secara tidak konstan, kasar, dan berlebihan. Mereka cenderung
mengabaikan prilaku yang baik dan hanya memerhatikan prilaku yang salah.
Dampaknya sang anak akan cenderung tertekan, kesulitan bermain bersama teman
sebaya, kurang percaya diri, memiliki masalah prilaku, dan terlibat dalam
tindakan sosial. Lingkarang kemiskinan, stress keuarga, dan masalah sosial dan
emosional anak terdapat diantara keluarga kulit putih berpenghasilan rendah dan
pedesaan dan juga pada etnis minoritas di perkotaan.
Keluarga yang berada dalam kesulitan
ekonomi memiliki kecenderunagn yang lebih rendah dalam mengontrol aktifitas
anak- anak mereka, dan kurangnya monitor tersebut berkaitan dengan prestasi
sekolah dan penyesuaian sosial yang lebih buruk. Keterlibatan ayah dengan anak
mereka cenderung dikaitkan dengan kesuksesan ekonomi, ketika sang ayah merasa
gagal bertugas sebagai sumber nafkah, demoralisasinya akan mengalahkan peran
keayahannya dan memengaruhi secara negative hubungannya dengan sang anak.
Karena itu, fathering sangat rentan
terhadap tekanan ekonomi dan sosial yang memengaruhi peluang pekerjaan.
Kemiskinan dapat melemahkan
kepercayaan diri orang tua dalam kemampuan mereka memengaruhi perkembangan
anak. Kekurangan sumber keuangan juga dapat menjadikan ayah dan ibu semakin
sulit mendukung pasangannya dalam pengasuhan. Pada banyak keluarga miskin,
orangtua mengerjakan beberapa pekerjaan yang melelahkan untuk memenuhi
kebutuhan tersebut. Orang tua orang tua ini kurang optimis dan lebih tertekan
dibandingkan dengan orang tua dalam keluarga yang lebih baik. Mereka menemukan
semakin sulit bagi kedua orang tua tersebut unutk berkomunikasi dan bekerja
sama dan sering kali bertengkar dalam urusan membesarkan anak.
Kemiskinan yang berlarut larut dapat
merusak. Dianatara 534 orang anak usia sekolah di Charlottescille, Virginia,
mereka yang berasal dari keluarga yang terus menerus berada di bawah garis
kemiskinan memiliki harga diri yang lebih rendah, kurang dapat menyesuaikan
diri dengan teman sebaya, dan lebih cenderung memiliki masalah prilaku
dibandingkan dengan keluarga yang hanya sesekali mengalami masa-masa sulit atau
yang sama sekali tidak pernah mengalami kondisi tersebut.
Akan tetapi, gambaran suram ini
tidak baku. Orang tua yang dapat mengandalkan keluarga(sebagaimana yang
dilakukan oleh orang tua Marian Anderson) atau kepada perwakilan kominutas
untuk dukungan emosional dan membantu merawat anak, dan informasi yang
berkaitan dengan pengasuhan anak, sering sekali dapat mengasuh anak mereka
dengan efektif. Ditambah lagi, sebagaimana yang akan kita lihat, sebagian anak
lebih mudah beradaptasi dibandingkan yang lain, temperamen mereka memungkinkan
mereka untuk menghadapi lingkungan yang menekankan dengan lebih sukses.
C.
Struktur
Keluarga
Struktur
atau susunan keluarga di A.S telah berubah secara dramatis. Pada generasi lebih
awal, sebagaian besar anak tumbuh dalam keluarga tradisional, yang terdiri dari
dua orang tua biologis atau adoptif heteroseksual yang menikah. Pada saat itu, walaupun
sebagian besar anak di bawah usia 18 tahun hidup tahun hidup bersama kedua
orang tuanya, akan tetapi jumlah sudah menurun secara drastis. Ditambah lagi
banyak keluarga dengan dua orang tua merupakan keluarga gabungan, sebagai hasil
dari perceraian dan perkawinan kembali. Ada pula tipe keluarga lain dalam
jumlah yang semakin meningkat seperti keluarga berorang tua tunggal, keluarga
gay dan lesbian dan keluarga yang berkomandoi oleh kakek.
Hal lain yang masih sama adalah
anak-anak cenderung lebih baik dalam keluarga tradisional dengan dua orang tua
ketimbang dengan keluarga berorang tua tunggal akibat perceraian atau keluarga
tiri. Walaupun demikian, kuncinya bukanlah struktur itu sendiri, hubungan orang
tua dengan yang lain dan kemampuan mereka untuk menciptakan atmosfer yang
disuaki lebih mempengaruhi penyesuaian anak ketimbang status perkawinan.
D. Keluarga Adoptif
Sepanjang sejarah, adopsi dapat ditemukan dalam
semua kultur. Adopsi bukan hanya diperuntukkan bagi orang yang mandul.,
individu orang yang sudah tua, pasangan gay dan lesbian, dan orang yang telah
memiliki anak biologi dapat menajdi orang tua asuh. Adopsi terjadi melalui
agensi public atau swasta atau melalui perjanjian independen antara orang tua
kandung dengan orang tua pengadopsi.
Mengadopsi anak membawa tantangan
tersendiri. Disamping masalah pengasuhan yang biasa muncul, orang tua adoptif
harus berhadapan dengan mengadopsikan anak ke dalam keluarga, menjelaskan
pengadopsian kepada si anak, membantu anak mengembangkan perasaan diri yang
sehat, dan mungkin akhirnya membantu anak untuk berhunbungan dengan orang tua
biologi.
Mengacu kepada ulasan literature,
hanya ada sedikit perbedaan dalam penyesuaian antara anak yang diadopsi dan
yang tidak. Anak yang diadopsi pada masa bayi kecenderungan lebih kecil dalam
memiliki masalah penyesuaian. Masalah yang muncul tampaknya mulai mengemuka
sekitar masa kematangan seksual.
Secara tradisional, adopsi bersifat
rahasia, dengan tidak ada kontak antara ibu kandung dan orang tua yang mengadopsi, dan identitas ibu kandung
akan tetap dirahasiakan. Dalam beberapa tahun terakhir ini, adopsi terbuka di masa setiap pihak
berbagi informasi atau memiliki kontak langsung menjadi semakin umum dilakukan.
Berlawanan dengan apa yang dianggap oleh sebagian orang sebagai resiko adopsi terbuka. Adopsi terbuka ialah,
adopsi dimana orang tua kandung dan orang tua angkat saling mengenal identitas
dan berbgai informasi atau memiliki kontak langsung.
E. Ketika Orang Tua Bercerai
Berbagai hal memengaruhi penyesuaian anak terhadap
perceraian meiliputi kematangan usia, gender, temperamen, dan penyesuaian
psikologis dan sosial sebelum perceraian. Cara orang tua menangani berbagai
permasalahan seperti kesepakatan perwalian dan kunjungan, keuangan,
pengorganisasian kembali tugas rumah tangga, kontak dengan orang tua yang tidak
termasuk dalam perwalian, menikah kembali, dan hubungan sang anak dengan orang
tua angkat juga membuat perbedaan.
Anak yang lebih muda lebih cemas
akan perceraian, kurang memiliki persepsi yang realistis tentang apa yang
menyebabkan perceraian tersebut, dan lebih sering menyalahkan diri mereka
sendiri. Akan tetapi bisa beradaptasi lebih cepat dibandingkan dengan anak yang
lebih tua, yang memahami apa yang terjadi dengan lebih baik. Anak usia sekolah
sangat sensitive terhadap tekanan orang tua dan konflik loyalitas , seperti
anak yang lebih muda, mereka mungkin takut terhadap penolakan dan pengacuhan.
Anak laki-laki ditemukan lebih sulit menyesuaikan diri dibandingkan anak
perempuan. Walaupuun demikian perbedaan ini, menjadi kurang siginifikan
dibandingkan yang pernah terpikikan dan sangat tergantung kepada masih seberapa
jauh keterlibatan seorang ayah.
Anak-anak menyesuaikan diri dengan
lebih baik apabila orang tua yang mendaatkan hak perwalian menciptakan
lingkungan yang stabil, terstruktur, dan nurturing
dan tidak mengharapkan anak unutuk mengemban tanggung jawab yang lebih besar
dari pada sebelumnya. Merujuk kepada analisis terhadap 33 studi, anak anak yang
tinggal bersama ibu yang bercerai lebih baik ketika sang ayah membayar
tunjangannya, yang mungkin dapat menjadi barometer ikatan antara ayah dan anak
dan juga berkaitan dengan berkurangnya perasaan dendam antara kedua mantan
pasangan tersebut.
Frekuensi kontak ayah-anak tidak
sepenting kualitas hubungan ayah-anak. Anak-anak yang dekat dengan ayah meraka
yang tidak lagi tinggal serumah, dan yang ayahnya menggunakan pola asuh
otoritatif, cenderung lebih baik di sekolah, dan anak yang tampaknya tidak
menikmati hubungan tersebut cenderung memiliki masalah prilaku. Anak-anak juga
lebih baik secara akademis apabila ayah mereka yang tidak lagi serumah terlibat
dalam sekolah mereka, dan apabila ibu mereka menggunakan praktik perngasuhan
yang efektif serta menghadirkan aktivitas pembentuk keterampilan dirumah.
1.3 Anak dalam Kelompok Sebaya
Dalam
masa prasekolah, anak bermain bersama, akan tetapi dalam masa sekolah kelompok
sebaya mulai terbentuk. Kelompok terbentuk secara alamiah diantara anak-anak yang berdekatan atau yang pergi
bersama ke sekolah. Jurang usia yang terlalu lebar memunculkan perbedaan ,
bukan saja dalam ukuran, tetapi juga dalam ketertarikan dan level kecakapan.
Biasanya didalam kelompok, anak laki-laki akan bergabung dengan anak laki-laki
begitu juga dengan anak perempuan. Anak-anak dari jenis kelamin yang sama
biasanya mempunyai ketertarikan yang sama, contohnya anak laki-laki ketika
berkumpul akan selalu membahas sepak bola. Apabila mereka bergabung dengan anak
perempuan, percakapan mereka akan tidak sesuai. Kelompok dengan jenis kelamin
yang sama membantu anak untuk belajar perilaku yang sesuai dengan gendernya dan
memasukkan peran gender ke dalam konsep diri mereka.
A.
Pengaruh
Positif dan Negatif Relasi Teman Sebaya
Kelompok sebaya membuka perspektif baru dan
membebaskan mereka untuk memnbuat penilaian independen ketika mereka mulai
menjauh dari pengaruh orang tua. Mereka mulai menguji nilai yang mereka punya
dengan teman sebayanya. Dengan membandingkan diri dengan anak lain yang seusia,
anak-anak dapat menilai kemampuan mereka dengan realistis dan mendapatkan
perasaan yang lebih jernih tentang kecakapan diri. Kolompok teman sebaya
membantu anak belajar bagaimana hidup bersama di masyarakat, bagaimana
menyesuaikan keinginan dan hasrat dengan yang lainnya.
Kelompok sebaya juga memiliki efek negatif. Efek
tersebut biasanya terdapat dalam pergaulan teman sebaya yang penguntil, memulai
penggunaan obat terlarang, dan bertingkah laku anti sosial lainnya. Anak
praremaja sangat rentan terhadap tekanan untuk meniru, dan tekanan ini dapat
mengubah anak menjadi seorang kriminal.
Pengaruh negatif lain kelompok sebaya adalah
keenderungan untuk menguatkan prasangka, sikap untuk memusuhu “orang luar”,
terutama anggota etnis atau ras tertentu. Pengalaman yang sudah diperoleh oleh
anak dapat mengurangi atau menghilangkan prasangka tersebut.
B.
Popularitas
Popularitas anak mejadi lebih tinggi pada masa
kanak-kanak pertengahan. Anak pada masa ini lebih banyak menghabiskan waktu
dengan anak lainnya sehingga opini teman sebaya sangat memengaruhi harga
dirinya. Anak sekolah yang disukai oleh teman sebaya cenderung mudah bergaul
pada masa remaja. Mereka yang sulit bermain ersama teman sebaya cenderung
mengembangkan masalah psikologis, keluar dari sekolah dan menjadi kriminal.
Anak yang populer biasanya mempunyai nilai kognitif
yang tinggi, bagus dalam memecahkan masalah, membantu anak lain, dan menjadi
asertif tanpa harus menjadi disruptoif atau agresif. Anak populer biasanya
dapat dipercaya, loyal, terbuka, dan menyajikan dukungan emosional. Tampilan
superiornya membuat teman sebayanya merasa nyaman dengannya. Walaupun demikian,
gambaran ini tak selalu benar. Beberapa anak yang agresif dan antisosial juga
termasuk anak yang populer. Hal ini menunjukkan popularitas merupakan hal yang
variatif.
Anak-anak dapat menjadi kurang populer karena banyak
hal. Ketika sebagian anak yang tidak populer agresif, beberaopa diantara mereka
hiperaktif dan inatentif dan sebagian diri menarik diri dari pergaulan. Yang lain
bertingkh memalukan dan tidak dewasa. Mereka sering tidak sensitid pada anak
lain dan tidak beradaptasi dengan baik terhadap situasi baru. Beberapa diantara
mereka menunjukkan ketertarikan untuk berkumpul pada kelompok dari jenis
kelamin berbeda. Beberapa anak yang tidak populer telah mengira dirinya tidak
disukai, dan hal ini merupakan ramalam yang terwujud dengan sendirinya.
Pengaruh popularitas juga diperngaruhi
oleh keluarga. Orang tua otoritatif cenderung memiliki anak yang lebih populer
dibandingkan orang tua yang otoriter. Anak dari orang tua otoriter yang
menghukum dan mengancam cenderung melakukan hal yang dilakukan oleh orang
tuanya kepada teman sebaya. Tingkat kepopuleran mereka jauh dari anak yang
orang tuanya otoritatif.
C.
Persahabatan
Anak-anak menghabiskan sebagian waktu bebasnya dalam
kelompok, akan tetapi hanya sebagian individual yang dapat membentuk
persahabatan. Anak-anak mencari teman yang mirip dengan mereka; satu usia,
jenis kelamin, dan kelompok etnis serta yang memiliki ketertarikan yang sama.
Seorang teman adalah seseorang yang disayangi oleh si anak, yang membuatnya
merasa nyaman, rela untuk melakukan berbagai ham bersama, dan yang dapat
menjaga rahasia dan perasaan. Persahabatan yang paling kuat meliputi komitmen
yang sama dan give-and-take mutual.
Bahkan anak yang kurang pupuler bisa mendapatkan sahabat tetapi memiliki
sedikit teman. Berbeda dengan anak populer yang bisa mendapatkan sahabat dan
cenderung memiliki banyak teman.
Mengapa persahabatan penting? Bersama teman, anak
belajar berkomunikasi dan bekerja sama. Mereka belajar tentang diri mereka yang
lain. Mereka dapat saling membantu melewati transisi yang menekan. Pertengkaran
yang tidak disengaja dapat membantu anak untuk menyelesaikan konflik.
Persahabatan tampaknya membantu anak untuk merasa nyaman terhadap diri mereka
sendiri. Penolakan teman sebaya dan ketiadaan teman pada masa kanak-kanak
pertengahan dapat memiliki efek jangka panjang.
Konsep persahabatan yang dimiliki anak, dan cara
mereka bertingkah laku terhadap teman, berubah seiring usia, merefleksikan
pertumbuhan kognitif dan emosional mereka. Anak-anak tidak dapat menjadi, atau
mendapatkan teman dalam arti yang sebenarnya sampai mereka mencapai kematangan
kognifif untuk dapat mempertimbangkan pandangan dan kebutuhan sendiri. Anak
perempuan pada masa kanak-kanak pertengahan lebih peduli untuk memiliki
beberapa orang teman yang dapat mereka andalkan ketimbang memiliki banyak
teman. Anak laki-laki cenderung memiliki lebih banyak persahabatan, tetapi
kurang dekat dan kurang peduli.
D. Agresi
dan Mengganggu
Anak-anak melihat kekerasan dalam jumlah yang sangat
besar di televisi. Lebih dari 57% anak
usia 8-16 tahun Amerika Serikat memiliki televisi di kamar tidur mereka, dan
banyak diantara mereka yang menotonnya sebelum tidur sebagai bentuk relaksasi.
Anak-anak A.S dan Kanada menonton televisi antara 12-25 jam per minggu. Di A.S
sekitar 6 dari 10 siaran televisi mengandung kekerasan, dan diantaranya
menunjukkan alternatif terhadap kekerasan. Termasuk yang ada di saluran kabel
premium mempertunjukkan kekerasan pada 85%
waktu siarnya. 39% program
televisi anak-anak di televisi Inggris mengandung kekerasan, sebagai besar
berupa penembakan atau penyerangan fisik lainnya.
Riset pembelajaran sosial menyatakan bahwa anak-anak
mengimitasi contoh yang difilmkan, bahkan lebih dari yang nyata (Bandura, Ross,
& Ross, 1963). Pengaruh tersebut menjadi bertambah kuat apabila si anak
yakin bahwa kekerasan yang ada dalam televisi tersebut nyata,
mengidentifikasikan dirinya dengan karakter yang negatif, dan menonton tanpa
pengawasan dari orang tua.
Ketika anak menonton kekerasan di televisi, mereka
mungkin menyerap nilai yang di gambarkan dan memandang agresi sebagai perilaku
yang dapat diterima. Dalam 73% adegan kekerasan, penjahat pergi tanpa dihukum;
dalam 47%, korban pergi tanpa disakiti, menjelaskan bahwa kekerasan tidak
memiliki konsekuensi yang tidak menyenangkan. Anak-anak yang melihat pahlawan
dan penjahat yang mendapatkan apa yang mereka inginkan melalui kekerasan
cenderung berkesimpulan kekerasan merupakan jalan pemecahan konflik yang
efektif. Mereka menjadi kurang sensitif terhadap rasa sakit yang disebabkan
oleh kekerasan tersebut. Mereka belajar untuk mengambil kekerasan begitu saja
dan menjadi tidak peduli ketika melihat hal tersebut terjadi. Tentu saja
beberapa orang anak lebih berpengaruh, dan lebih mudah dipengaruhi dibandingkan
yang lain.
Dalam sebuah survei terhadap 2.245 anak tingkat
ketiga sampai kedelapan di 11 sekolah
negeri Ohio, semakin banyak jumlah jam menonton televisi setiap harinya,
terutama bagi mereka yang lebih suka menonton film action, akan semakin banyak
simtom trauma seperti depresi, stres, kecemasan dan kemarahan. Anak-anak dengan
masalah psikologis atau perilaku mungkin lebih banyak menonton televisi
dibandingkan anak yang tidak memiliki masalah seperti itu. Dan diet televisi
yang ketat bisa jadi hanya akan semakin memperburuk permasalahan tersebut.
Karena itu, berlebihan menonton televisi dapat mengindikasikan adanya masalah
yang mungkin membutuhkan perawatan.
Pengaruh jangka panjang kekerasan di televisi lebih
besar pada masa kanak-kanak pertengahan dibandingkan dengan usia yang lebih
muda; anak usia 8-12 tahun sangatlah mudah terpengaruh. Di antara 427 dewasa
awal dengan kebiasaan menonton yang telah dipelajari sejak mereka berusia 8
tahun, prediktor agresivitas terbaik pada usia 19 tahun (baik pria maupun
wanita)adalah tingkat kekerasan dalam pertunjukan yang mereka tonton saat
mereka masih kecil.
Agresivitas dapat ditekan dengan mengurangi
penggunaan televisi. Dalam sebuah intervensi, anak tingkat ketiga dan keempat
yang menerima kurikulum 6 bulanan yang bertujuan untuk meningkatkan motivasi
mereka untuk memonitor dan mengurangi jumlah jam yang mereka habiskan di depan
televisi, video tape, dan video games, menunjukkan penurunan signifikan dalam
agresi tingkat teman sebaya, dibandingkan dengan kelompok kontrol yang tdak
berpartisipasi dalam program tersebut.
E. Intimidasi
dan Korban
Intimidasi adalah agresi yang secara sengaja dan
terus-menerus diarahkan kepada target tertentu (korban) biasanya seseorang yang
lemah dan gampang dipengaruhi, dan tidak dapat membela diri. Bullies adalah
perbuatan yang mengintimidasi. Bullies pria cenderung menggunakan kekerasan
(overt agression) dabn memilih anak laki-laki maupun perempuan sebagai
korbannya. Sedangkan perempuan mungkin menggunakan cara verbal atau fisik
(relational agression) dan lebih cenderung memiliki relasi yang buruk dengan
teman sebaya, simtom depresi, atau perilaku antisosial. Anak yang mungkin latar
belakang keluarganya yang kurang mendukung, dan sangat sensitif terhadap
relational agression cenderung berulang kali menjadi korban.
Pola bullying dan menjadi korban mungkin sudah mulai
terbentuk pada masa TK. Ketika bentuk kelompok bersifat sementara, anak-anak
melalui agresi langsung kepada berbagai target. Para agresor segera mengetahui
anak mana yang mudah “dikerjai” dan memfokuskan agresi mereka kepada anak-anak
tersebut.
Masa kanak-kanak pertengahan merupakan waktu puncak
bullying. Para pelaku cenderung memiliki peringkat yang buruk dan merokok serta
minum minuman keras. Korbannya cenderung menjadi panik dan tunduk dan mudah
menangis., atau bisa menjadi argumentatif atau provokatif. Mereka cenderung
sendiri dan sulit untuk bergaul. Mereka cenderung memiliki harga diri yang
rendah, walaupun tidak jelas apakah harga diri yang rendah menjadikan diri
mereka sebagai koran dari aksi bullying. Korban laki-laki cenderung memiliki
fisik yang lemah. Anak yang menjadi sasaran bullies sering kali memiliki
sedikit teman dan berasal dari lingkungan keluarga yang kasar dan keras dan
selanjutnya membiarkan mereka mendapatkan hukuman atau penolakan. Memilik teman
akan menghadirkan sosok proteksi terhadap pola ini. Korban bullying
mengembangkan masalah perilaku seperti hiperaktivitas dan overpenden, dan
mereka bisa menjadi lebih agresif.
Bullying dapat dihentikan atau dicegah. Hal ini dilakukan
dengan menciptakan atmosfer yang otoritatif dengan kehangatan, ketertarikan,
dan keterlibatan yang dipadu dengan hukuman non-fisik dengan batasan yang jelas
dan konsisten. Supervisi dan monitoring yang lebih baik pada saat istirahat
makan, aturan kelas tentang bullying, dan percakapan serius dengan para pelaku,
korban, dan orangtua, yang merupakan bagian dari program ini.
2.3 Kesehatan
Mental
Terminologi kesehatan mental sering sekali
disalahgunakan karena biasanya merujuk kepada kesehatan emosional. Sama seperti
sebagian anak memiliki ketidaknormalan fisik atau mental, sebagian anak juga
tidak berkembang secara normal dalam masalah emosional.
A. Gangguan Emosional Umum
1. Disruptive Behavior Disorder
Ledakan kemarahan dan penentangan,
argumentatif, sikap bermusuhan, perilaku mengacuhkan yang disengaja atau
sesuatu yang umum terjadi pada usia 4 sampai 5 tahun. Biasanya menghilang pada
masa kanak-kanak pertengahan. Apabila pola perilaku terus berlangsung hingga
usia 8 tahun, anak-anak (biasa anak laki-laki) didiagnosa mengidap oppositional
defiant disorder atau disebut dengan pola perilaku yang terus
berlangsung sampai masa kanak-kanak pertengahan, ditandai dengan negativitas.
Pola penentangan, ketidakpatuhan, dan sikap bermusuhan terhadap figur
otoritatif orang dewasa. Anak yang mengidap OOD akan sering berkelahi,
bertengkar, marah, merampas barang-barang, menyalahkan orang lain, pemarah dan
pembenci, dan biasanya menguji batas kesabaran orang dewasa secara konstan.
Sebagian
dari anak yang mengidap OOD bergerak ke pola agresif berkesinambungan dengan
berulang, tindakan antisosial seperti membolos sekolah, kebiasaan berbohong,
berkelahi, dan menggunakan senjata.Semua ini disebut sebagai Conduct disorder (gangguan perilaku).
2. Fobia Sekolah dan Gangguan
Kecemasan Lain
Anak yang mengidap fobia sekolah
memiliki rasa takut yang tidak realistis untuk pergi sekolah. Sebagian anak
memiliki alasan yang realistis untuk menghindari masuk sekolah, seperti : guru
yang sarkastis, tugas yang berlebihan, atau bisa juga bullying dilingkungan
sekolahnya. Dalam kasus seperti itu lingkungan yang harus dirubah, bukan sang
anak.
Fobia
sekolah merupakan sebuah tipe dari separation anxiety disorder yaitu kondisi
yang mengandung kecemasan yang berlebihan dalam jangka waktu yang dekat.
Berkaitan dengan perpisahan dengan rumah atau dari orang yang sangat dekat
dengan si anak. Separation anxiety disorder menyerang sekitar 4% dari anak-anak
dan remaja awal dan mungkin terus berlangsung sepanjang masa sekolah. Anak-anak
ini biasa datang dari keluarga dengan ikatan yang sangat kuat. Binatang
peliharaan yang mati bisa jadi penyebab pengembangan gangguan tersebut. Banyak
anak dengan separation anxiety disorder juga menunjukan simtom depresi; rasa
sedih, apati, dan sulit berkonsentrasi.
Anak
dengan fobia sekolah cenderung merupakan siswa yang baik. Mereka cenderung
takut dan segan jauh dari rumah, tetapi membantah dan keras kepala serta
menuntut terhadap orang tuanya. Penanganan terpenting adalah kembali masuk
sekolah segera mungkin dan secara gradual.
Fobia
sekolah bisa juga merupakan bentuk fobia sosial, karena ketakutan yang luar
biasa atau menghindari situasi sosial. Anak dengan fobia sosial mungkin begitu
ketakutan akan penghinaan sehingga diminta untuk bersosialisasi disekolah muka
mereka akan merah , bereringat bahan berdebar-debar. Fobia sosial kemungkinan
faktor genetik. Fobia terjadi karena adanya pengalaman traumatis .
Generalized
anxiety disorder adalah kecemasan yang tidak fokus kepada satu target tertentu.
Contohnya seperti sekolah atau relasi sosial. anak yang terkena gangguan ini
cenderung menjadi perfeksionis, konformis, dan peragu. Yang jarang terjadi
adalah obsessive-compulsive disorder adalah
para penderitanya terobsesi oleh pemikiran berulang yang mengganggu, gambaran,
atau impuls dan sering kali menunjukkan perilaku yang kompulsif seperti mencuci
tangan berulang kali, sebagai usahanya untuk lepas dari obsesi ini.
3.
Depresi
masa kana-kanak
Gangguan
perasaan yang ditandai dengan simtom seperti terus-menerus memiliki perasaan
tidak memiliki teman, ketidakmampuan untuk gembira atau berkonsentrasi,
kelelahan, aktivitas atau kelesuan ekstrem, menangis, masalah tidur, dll.
Contohnya : “Tidak seorang pun menyukai saya” merupakan pengaduan yang biasa
ditemukan pada anak usia sekolah, yang cenderung sadar-populeritas. Akan tetapi
perasaan tidak berteman yang berlangsung
terus-menerus bisa jadi merupakan salah satu tanda depresi masa kanak-kanak,
gangguan perasaan yang melampaui rasa sedih normal dan temporer.
B. Teknik
Penanganan
Penanganan
psikologi bagi mereka yang terganggu emosinya dapat bervariasi. Mencakup
psikoterapi individual, terapi keluarga, terapi perilaku, terapi permainan,
terapi seni, dan terapi obat.
a. psikoterapi
individual
Terapis menemui sang anak satu demi
satu untuk membantu anak mendapatkan wawasan akan kepribadian dan relasinya
serta menginterpretasikan perasaan dan perilaku. Penanganan orang tua, bahkan
walaupun anak tidak menunjukkan sinyal gangguan.
b.
Terapi
keluarga
Terapis bertemu dengan keluarga
secara utuh mengamati bagaimana para anggotanya saling berinteraksi, dan
menunjukkan pola fungsi keluarga yang menghasilkan pertumbuhan dan yang
menghasilkan hambatan. Terapi dapat membantu rapi yang menggunakan prinsip
teori pembelajaran untuk menghilangkan perilaku yang tidak
dikehendaki(misalnya, ledakan kemarahan) atau untuk mengembangkan perilaku yang
diharapkanorang tua menghadapi masalah merek dan mulai memecahkannya.
c. Terapi
perilaku atau modifikasi perilaku
Merupakan bentuk psikoterapi yang
menggunakan prinsip teori pembelajaran untuk menghilangkan perilaku yang tidak
dikehendaki(misalnya, ledakan kemarahan) atau untuk mengembangkan perilaku yang
diharapkanorang tua menghadapi masalah merek dan mulai memecahkannya. Analisis
statistik banyak studi menemukan bahwa, secara umum, psikoterapi efektif bagi
anak dan remaja, terutama bagi remaja wanita. Terapi perilaku lebih efektif
ketimbang metode nonbehavioral.
d. Terapi
bermain
Dimana
si anak bermain bebas dengan terapis, yang terkadang melontarkan komentar,
pertanyaan, atau memberikan saran terbukti efektif.
e.
Terapi seni
Dapat membantu mereka
mendeskripsikan atau mengekspresikan apa yang mengganggu mereka tanpa harus
menuangkannya dalam bentuk tulisan. Dalam terapi keluarga, mengobservasi
bagaimana keluarga merencankan, mencetuskan, dan kemudian mendiskusikan proyek
seni dapat mengungkapkan pola interkasi keluarga.
f.
Terapi obat
Untuk menangani gangguan emosional
meningkat pesat sepanjang 1990-an, kerap kali dikombinasikan dengan satu atau
lebih bentuk psikoterapi. Sayangnya, terdapat ketidakcukupan riset akan jangka
panjang dan keselamatan bagi anak dan remaja. Dua pengecualian adalah penggunaan
stimulan seperti methylphenidate (Ritalin)
untuk menangani ADHD dan penggunaan serotonin selective reuptake inhibitors (SSRIs) untuk menangani
obsessive-compulsive, depresive, dan anxiety disorder.
C. Stres
dan Kegembiraan: Faktor Pelindung
Stres adalah respons terhadap tuntutan
fisik atau psikologis seseorang. Peristiwa yang menekan, atau stressor,
merupakan bagian dari masa kanak-kanak, dan sebagian besar anak kecil belajar
untuk menghadapinya. Akan tetapi, stress yang berlebihan dapat mengarah kepada
masalah psikologis.
1.
Tekanan
kehidupan modern
Psikolog anak, David
Elkind(1981,1984,1986,1997) menyebut anak saat ini dengan “hurried child” (anak
yang tergesa-gesa). Beliau mengingatkan bahwa tekanan kehidupan modern memaksa
anak untuk tumbuh terlalu cepat dan membuat masa kanak-kanak mereka terlalu
penuh dengan tekanan. Anak-anak menerima terlalu banyak masalah orang dewasa
dari televisi dan dalam kehidupan nyata sebelum mereka dapat menguasai masalah
masa kanak-kanak. Padahal anak-anak bukan orang dewasa kecil. Mereka merasakan
dan berpikir layaknya anak-anak, dan mereka membutuhkan tahun-tahun masa
kanak-kanak untuk tumbuh dengan sehat. Anak yang tumbuh dikelilingi oleh
kekerasan sering kali mengalami kesulitan berkonsentrasi dan tidur. Sebagian
dari mereka menjadi agresif, dan sebagian yang lain menerima brutalis tanpa
bertanya. Anak dengan multirisiko mereka yang hidup dalam komunitas penuh
kekerasan, yang msikin, dan yang menerima pengasuhan, pendidikan, dan pelayanan
kesehatan yang tidak layak adalah yang paling cenderung menderita kerusakan
pertumbuhan permanen(Rutter, 1987). Program berbasis sekolah yang didesain
untuk menghentikan perilaku kekerasan dengan mempromosikan kompetensi sosial
memiliki tingkat keberhasilan moderat di AS. Salah satu dari program seperti
itu, Providing Alternative Thinking Strategis(PATH). Perkembangan emosional dan
kognitif dipandu melewati pelajaran bertahap yang mencakup instruksi, lembar
kerja, diskusi, permainan perandan modeling, serta dikuatkan oleh orangtua dan
teman sebaya.
2.
Berhadapan
dengan stres: Anak yang tangguh
Mereka yang dapat bertahan dari
situasi yang dapat menghancurkan yang lain. Mereka hanya melakukan penyesuaian,
meski dalam situasi yang memusuhinya, untuk memegang sistem dan sumber daya dasar
yang menghasilkan perkembangan positif dalam diri anak yang normal.
Dua faktor
protektif paling penting yang tampaknya membantu anak-anak dan remaja
mengatasi stres dan memberikan kontribusi pada sikap tabah adalah hubungan
keluarga yang baik dan pelaksanaan fungsi kognitif.. anak yang tabah cenderung
memiliki relasi yang baik dan ikatan yang kuat dengan paling tidak salah satu
orangtua yang mendukung dirinya. Anak yang tabah cenderung memiliki IQ yang
tinggi dan pemecah masalah yang baik. Mereka dapat menarik perhatian para guru
yang dapat bertindak sebagai pemandu, orang kepercayaan, atau mentor.
·
Kepribadian
anak. Anak yang tangguh dapat
beradaptasi,bersahabat,bermuka manis, independen, dan sensitif terhadap orang
lain.
·
Risiko
yang terkurangi. Anak yang telah menerima salah satu
faktor yang amat berkaitan dengan gangguan psikiatrik (misalnya, perselisihan
orangtua, status sosial yang rendah, ibu yang terganggu kejiwaannya, ayah yang
kriminal, dan mengalami hidup di panti asuhan atau rumah singgah)
·
Compenating
experience. Lingkungan sekolah yang mendukung atau
mengalami kesuksesan pada masa studi, dalam olahraga, musik, atau dengan anak
atau orang dewasa lain dapat membantu menambal kehidupan rumah yang destruktif.
Di masa dewasa, perkawinan yang baik dapat menggantikan relasi yang buruk di
masa awal kehidupan.
Secara umum, anak yang
berasal dari lingkungan yang tidak menyenangkan memiliki lebih banyak masalah
dibandingkan anak yang berasal dari lingkungan yang menyenangkan. Sebagian anak
yang tampaknya tangguh bisa jadi menderita tekanan internal yang mungkin
memiliki konsekuensi jangka panjang. Yang masih membuat gembira dari temuan ini
adalah pengalaman negatif masa kanak-kanak tidak selalu menentukan arah
kehidupan seseorang dan banyak anak-anak yang memiliki kekuatan yang dapat
memandunya melewati jalur yang sulit. Masa
remaja, juga merupakan masa yang penuh tekanan dan risiko lebih tinggi
dibandingkan masa kanak-kanak pertengahan. Akan tetapi para remaja
mengembangkan ketrampilan dan kompetensi untuk menghadapi tantangan yang mereka
hadapi.